Besaran angka royalti performing rights-nya berapa?
Kami menghitungnya berdasarkan persentase dari si pengguna. Misalnya, si artis bayarannya Rp100 juta, ini kira-kira ya, karena patokan kami adalah royalti yang diambil dalam platform digital, biasanya kisaran 10-12 persen. Jadi, 10 persen dari Rp100 juta itu kan Rp10 juta. Dan Rp10 juta itu kan berdasarkan semua lagu yang dibawakan dalam sebuah acara. Jadi, misalnya ada 10 lagu, dari lagu-lagu tersebut kan ada lagu ciptaannya si A, si B, dan si C. Dari total 10 lagu itu akan dibagi rata (prorate), jadi misalnya dari 10 lagu dari 10 pencipta lagu, masing-masing dapat Rp1 juta. Jadi, buat kami ini adalah sebuah hal yang tidak memberatkan dan tidak rumit karena potongannya jelas.
Itu dibebankan kepada promotor atau sponsor?
Promotor mengajukan ini kepada sponsor, karena target kami kan sponsor, ia akan lihat dari RAB (Rencana Anggaran Biaya)-nya. Misalnya, fee artis Rp100 juta, izin lokasi sekian, produksi sekian, lisensi lagu Rp10 juta, mungkin dia liat angka Rp10 juta enggak terasa. Dengan total misalnya Rp1,2 miliar, pasti kan ada kesepakatan pembuatan banner atau promosi brand antara sponsor dengan promotor. Dan yang bayar adalah sponsor. Jadi, tidak ada yang dirugikan, kan?
Tapi, pemerintah dalam hal ini LMKN mengimbau siapa pun untuk tidak melakukan tindakan yang tidak sesuai Undang-Undang. Tanggapan Anda?
Jika hal ini adalah sesuatu yang ditentang atau coba dihambat saya rasa salah banget karena semua ekosistemnya terpenuhi. Manajer artis aman, dia enggak perlu lagi bingung cari-cari siapa pencipta lagunya. Dan si EO juga malah seneng. Aku sudah sampaikan soal ini ke Backstagers Indonesia (salah satu komunitas event terbesar di Indonesia), mereka mengaku senang karena (royalti ini) masuk dalam RAB mereka. Mereka kan dapet fee itu dari marginnya event. Umpamanya persentase dari Rp1,3 miliyar itu 10 persen, kan jadi lebih gede dapetnya karena ada tambahan lisensi. Buat aku, semua happy. Apa yang salah? Yang salah adalah karena kami tidak melibatkan pihak ketiga which is itu adalah LMKN. Padahal begitu lisensi terbayarkan, itu otomatis dengan payment gateaway langsung terdistribusikan ke pencipta lagu.
Sangat transparan, ya?
Iya … Kenapa harus transparan, karena yang kita perlukan adalah algoritma si pencipta lagu itu. Kan bisa ketauan, misalnya dalam satu tahun, si pencipta ini lagunya dipakai dalam konser apa aja. Karena datanya ada, datanya keliatan. Statistiknya misalnya naik, pendapatannya setahun mungkin Rp500 juta. Ini kan oke. Dibandingkan yang dilakukan LMKN dengan sistem blanket license. Itu enggak jelas. Enggak ada datanya. Mereka hanya, ketika selesai konser nagih dua persen dari tiket. Tiketnya mana? Itungannya apa? Lagu yang dibawakan apa saja? Emang dia dapet data itu? Datanya dari mana? Emang EO ngasih? Kecuali kalau setelah konser EO ngasih ya. Itulah sistem blanket license yang digadang-gadang oleh LMKN sebagai sistem yang saat berlaku. Kami itu kayak di-brainwash supaya kita menerima itu saja.
Anda merasa ini tidak adil buat para pencipta lagu?
Iya … Masa pencipta lagu kayak Dewi Lestari cuma dapet Rp300 ribu, saya juga Rp130 ribu (dari lagu “Penjaga Hati” yang dibawakan Ari Lasso). Okelah, saya masih ada konser sama Padi juga umpamanya, Tapi kan ada pencipta lagu lain yang hidupnya bikin lagu doang. Enggak kayak saya atau Padi misalnya yang masih tur. Itu kerepotan. Makanya saya enggak melihat manfaat dari sistem royalti (LMKN) itu dan itu menyentuh nurani saya. Denny Chasmala yang lagunya hit ke mana-mana, yang dibawakan Reza Artamevia, “Berharap untuk Berpisah”, dia enggak dapet apa-apa. Nah, sekarang dia udah dapet, tapi dari Reza-nya langsung. Tapi kan nantinya dengan Digital Direct License ini udah lebih enak karena udah ada sistemnya.
Kapan platform ini benar-benar bisa digunakan publik?
Dalam waktu dekat. Tinggal nunggu sosialisasi terakhir dengan EO dan promotor. Karena, terus terang saja, para pencipta lagu ini masih pada upload lagu-lagu mereka. Sejauh ini sudah ter-upload sekitar 300-an lagu. Sementara target kami itu 1000-an lagu.