Trio pop-rock alternatif asal Bali, MANJA kembali dengan single paling introspektif mereka, “Wax & Feathers”. Lagu yang sangat personal ini terinspirasi oleh perjuangan masa lalu vokalis utama James Sukadana terkait kesehatan mentalnya.
Bukan cuma itu. Menurut keterangan tertulis yang diterima Billboard Indonesia, Jumat, 13 September, “Wax & Feathers” menunjukkan kemampuan band ini untuk memadukan lirik yang reflektif dengan sound khas mereka sehingga menjadikannya tambahan yang menyentuh hati pada repertoar lagu-lagu yang menggugah.
“Wax & Feathers” ditulis pada saat yang sangat penting dalam kehidupan James. Menghadapi gangguan mental, ia mendapati dirinya berada di ujung tanduk – baik secara fisik, di atas tebing di Australia, dan secara emosional, di persimpangan jalan. Judul dan lirik lagu ini diambil dari catatan yang ditulis James untuk saudara perempuannya selama masa sulit ini. Sebuah metafora untuk kerapuhan kondisinya:“My wax has melted, my feather is coming off, and it’s my time to fall.”
Lagu ini mengisahkan perjalanan James dalam menemukan jati diri dan penyembuhan. Perjalanan ini dimulai di Australia, tempat ia mencari tujuan dan rasa memiliki. Meskipun awalnya berharap, ia justru tenggelam dalam kegelapan, yang membawanya kembali ke Bali untuk memulai hidup baru.
“Semua kejatuhan itu adalah bagian dari perjalanan. Itu bukan kegagalan selama Anda dapat bangkit darinya dan membersihkan diri,” renung James.
Dalam “Wax & Feathers”, James menghadapi kecenderungan pria untuk berkutat pada kesalahan masa lalu, menggunakan lagu ini sebagai bentuk penerimaan dan perwujudan masa depan yang lebih cerah dan lebih baik. Bagian bridge, yang menjadi sorotan lagu ini, menangkap sentimen ini dengan sempurna. “I know now I was wrong/Lights fade, but fires burn along/I see now this is right where I belong,” demikian bunyi liriknya.
Kepedihan dari “Wax & Feathers” bahkan lebih signifikan, dengan James yang baru-baru ini harus menepi dari dunia musik lantaran pita suaranya bermasalah sehingga membuatnya tidak dapat bernyanyi. Akibatnya, MANJA saat ini dalam keadaan berubah-ubah. Apa artinya ini bagi masa depan MANJA?
“Kami telah melalui banyak hal sebagai individu dan sebagai sebuah band. Kami tahu bagaimana rasanya bertekuk lutut. Pada saat yang sama, kami juga tahu bagaimana bangkit kembali. Kami harus menjaga api tetap menyala,” tegas James, menginspirasi pendengar dengan ketahanan MANJA.
Terdiri dari James dan saudara-saudaranya yaitu Nick Pratama pada gitar dan kibordis Mark Saputra, MANJA dikenal dengan lagu-lagu mereka yang ceria dan bersemangat yang dimaksudkan untuk berdansa. Namun, “Wax & Feathers” menandai evolusi yang signifikan dalam ekspresi artistik mereka.
MANJA mengeksplorasi kerentanan mereka sambil mempertahankan ciri khas sound dengan bantuan produser musik, komposer, dan pendesain sound asal Rumania, Vladimir Coman-Popescu, yang memproduksi single tersebut.
“Kami terjebak dengan versi awal lagu tersebut begitu lama, kami tidak dapat melanjutkannya karena suatu alasan,” kenang Mark. “Kemudian Vlad mempersembahkan aransemen barunya kepada kami, dan kami menyempurnakannya melalui beberapa panggilan Zoom. Voilà! Kami semua sangat senang pada akhirnya.”
Video musik yang menyertai single ini, yang direkam sutradara dan seniman visual Indonesia pemenang penghargaan Andrea Wijaya, memiliki makna khusus bagi James. Difilmkan di atas tebing di Gunung Papandayan di Jawa Barat, dengan indah menangkap perjalanan emosional lagunya.
Video ini juga menawarkan momen penutupan dan metafora visual yang kuat untuk mengatasi titik terendahnya. “Andrea adalah mesin. Tidak ada yang bekerja sekeras dia,” kenang Mark tentang proses pengambilan gambar video musik lagu “Wax & Feathers”.