Menurut Ramya Prajna Sahisnu, semua profesi di dunia terancam dengan keberadaan AI. Akan tetapi, dari situ akan lahir profesi-profesi baru. Untuk itu, ia menganggap AI tidak lebih dari alat (tools) yang esensinya membantu atau memudahkan pekerjaan manusia. Bukan untuk menggantikan manusia.
“Teknologi ini dibuat untuk kita. Ketika kita melihat itu sebagai alat dan kita menggunakan, maka kita akan terus berkembang. Sementara yang diam dan tidak menggunakan, tentu akan merasa tertinggal dan tergantikan,” ujar Ramya.
Sementara itu, Febrian Nindyo menuturkan, ada empat aktivitas utama profesi musisi. Pertama, jasa permainan musik untuk pertunjukan. Kedua, jasa permainan musik untuk produksi. Ketiga, jasa edukasi dan terapi. Keempat, produksi pengelolaan dan kapitalisasi fonogram dan lagu. Dan yang paling terkena dampak ada di sektor nomor dua; jasa permainan musik untuk produksi.
“Teman-teman yang mengenal digital audio production itu sudah mulai khawatir dengan keberadaan AI. Karena tadinya digital audio production itu hanya ngambilin sample, terus kita yang bikin lagunya. Sekarang sudah bisa bikin langsung. Kita cuma ngetik ‘tolong bikinin lagu yang groovy dengan bass ala-ala…’ siapa gitu ya, dan itu sudah bisa dibikin,” Febrian menjelaskan.
Sebagian pencipta lagu juga sudah punya kekhawatiran tersendiri terhadap AI, lanjut Febrian, karena kemampuan berbahasa teknologi baru ini sudah bisa bersaing dengan kemampuan manusia.
“Sekarang tinggal tulis ‘tolong bikinin saya lagu tentang cinta bertepuk sebelah tangan’, dan itu langsung jadi meskipun AI masih agak sok tahu juga. Tapi, dari situ kita tinggal kopi dan ganti-ganti sedikit. Berarti, tidak harus pencipta lagu mahir. Pencipta lagu pemula sudah bisa membuat lagu bagus dengan bantuan AI,” tambahnya.
Hal yang paling mudah dilakukan, sambungnya, ialah mendorong berbagai platform agar – paling tidak – bisa memberi catatan bahwa itu karya AI atau bukan. Sejauh ini, baru Google dan Facebook yang bisa mendeteksi bahwa sebuah foto atau video adalah karya AI. Sedangkan Spotify dan YouTube belum bisa mendeteksi.
“Kemudian hak cipta juga diperbaharui agar suara manusia terlindungi. Dan part-part musik juga terlindungi. Lalu apapun tantangannya, ke depan, teman-teman musisi harus berkolektif agar bisa menyelesaikan masalah bersama-sama,” pungkas Sekjen Federasi Serikat Musisi Indonesia (FESMI) itu.
Eka Gustiwana juga termasuk musisi yang menentang penggunaan AI sebagai pengganti otak manusia. Secara tegas, berkaitan dengan tema seminar ini, ia menyampaikan bahwa musik buatan AI tidak boleh masuk ke dalam penghargaan musik buatan manusia.
“AI join-nya di anugerah (musik) AI aja, kalau manusia masuknya di anugerah (musik) manusia. Karena sudah beda alam. Menurut saya seperti itu,” kata dia, menegaskan.