Perusahaan rekaman asal Swedia, Snafu, kini melebarkan sayapnya ke Indonesia. Snafu fokus pada penemuan, dukungan, dan investasi pada musisi independen di seluruh dunia.
Dalam menghadapi isu seputar penggunaan AI (artificial intelligence atau kecerdasan buatan) dan potensinya yang kontroversial dalam dunia seni, Snafu memilih pendekatan inovatif. Sejak berdiri pada 2020, Snafu mengembangkan algoritma dengan menggunakan kecerdasan buatan untuk menyoroti musik yang belum dikenal secara luas. Tetapi, bukan untuk menggantikan kreativitas seniman manusia.
Snafu mengandalkan apa yang mereka sebut penemuan musik AI. Daripada hanya mengandalkan tim pencari bakat A&R untuk mencari produk besar berikutnya, label tersebut mencari beberapa kode untuk mempermudah pekerjaannya.
Algoritma milik label rekaman ini menganalisis jutaan titik data dari lebih dari 150.000 lagu per minggu menjadi 15 hingga 20 pilihan terbaik untuk dipilih oleh tim A&R label yang beranggotakan empat orang.
Algoritma ini menganalisis faktor-faktor seperti volume pertumbuhan sebuah lagu, keterlibatan penggemar – seperti komentar positif di YouTube – dan seberapa mirip sebuah lagu dengan lagu hit lainnya.
“Kami kemudian merancang kesepakatan yang masuk akal untuk proyek tersebut, kesepakatan di mana para seniman masih merasa mandiri,” urai perusahaan tersebut di situsnya.
“Lagu tersebut harus memiliki kemiripan 70 hingga 75 persen dengan rata-rata lagu di Top 200 Spotify pada waktu tertentu. Cukup berbeda untuk jadi unik, namun cukup mirip untuk mengikuti aturan hit,” lanjut pernyataan tadi.
Sementara itu, Aldo Sianturi sebagai Country Director Snafu di Indonesia mengatakan, pihaknya meyakini bahwa bakat-bakat luar biasa ada di sekitar kita. Tapi, sering kali tidak mendapatkan dukungan yang memadai.
“Dengan teknologi canggih yang dimiliki Snafu, kami berharap dapat menjadi mitra yang sangat dibutuhkan bagi musisi Indonesia dalam mewujudkan potensi musik mereka,” kata Aldo.
Lantas, apa yang menjadi ciri khas utama dari Snafu yang mungkin membedakan kebijakannya dibandingkan dengan label-label lain?
“Kami punya program Song Fund yang menjadi komitmen untuk kerja sama pembiayaan untuk musisi independen di seluruh dunia dengan melisensikan katalognya dan dijanjikan pertumbuhan monetisasi selama masa kerja sama. Hal ini sudah kami lakukan di pasar Eropa dan berhasil. Kami tidak mencampuri urusan artistik hanya strategi bisnis musik modern saja,” Aldo menjelaskan kepada Billboard Indonesia.
Lebih jauh, Aldo mengatakan, label ini memiliki teknologi kecerdasan buatan untuk menghitung angka penjualan musik di beberapa digital streaming. Tujuan mereka adalah mengoptimalisasi katalog musik yang kurang mendapat perhatian, namun punya potensi besar untuk dioptimalisasi pencapaian monetisasinya.
“AI adalah sebuah kecerdasan yang bermanfaat jika dipergunakan untuk kebaikan di dunia musik,” imbuhnya.
Namun, Snafu bukan satu-satunya label yang menggunakan analisis dan data untuk menemukan artis. Warner Music Group membeli alat A&R algoritmik serupa yang disebut Sodatone pada 2018, dan hampir semua pencari A&R menggunakan analisis berbeda dari Shazam dan Spotify untuk memprediksi apa yang akan terjadi.
Hanya, ketika perusahaan-perusahaan besar menggunakan teknologi sebagai salah satu alat dalam persenjataan mereka, para eksekutif Snafu menyebut AI sudah tertanam kuat dalam DNA mereka sebagai sebuah perusahaan.